Kamis, 30 Juli 2015

PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Multikulturalisme adalah sistem keyakinan dan perilaku yang mengakui dan menghormati kehadiran semua kelompok yang beragam dalam suatu organisasi atau masyarakat, mengakui sosial-budaya mereka yang berbeda, dan mendorong dan memungkinkan kontribusi melanjutkan mereka dalam konteks budaya inklusif yang memberdayakan semua dalam organisasi atau masyarakat.
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, dan kelas. Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas. Pendidikan multikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya. Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa relevansi pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan?
2.      Bagaimana dimensi dan pendekatan  pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan ?
3.      Bagaimana langkah pengembangan pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan?

1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui relevansi pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan.
2.      Untuk mengetahui dimensi dan pendekatan  pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan.
3.      Untuk mengetahui langkah pengembangan pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan

1.4  Manfaat Penulisan
Memberikan wawasan kepada pembaca mengenai pembelajaran berbasis multikultural, khususnya dilihat dari segi relevansi, dimensi, pendekatan serta langkah pengembangannya dalam dunia pendidikan.













BAB II
PEMBAHASAN



2.1 Relevansi Pembelajaran Berbasis Multikultur dalam Pendidikan
Rasional tentang pentingnya pembelajaran multikultural, karena strategi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam:
1.   Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antar budaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent);
2.   Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat;
3.   Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk;
4.   Memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengkambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial. Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi. Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.
2.2  Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural dalam pendidikan
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
1.      Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2.      Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
3.      Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
4.      Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperative learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
5.      Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.
Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives Approach) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding  menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya.
Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda.
Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.

2.3  Langkah Mengembangkan Pembelajaran Berbasis Multikultural
Ada beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural, diantaranya:
1. Melakukan Analisis Faktor Potensial Bernuansa Multikultural
Analisis faktor yang dipandang penting dijadikan pertimbangan dalam mengembangkan model pembelajaran berbasis multikultural, yang meliputi: (a) tuntutan kompetensi mata pelajaran yang harus dibekalkan kepada peserta didik berupa pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan etika atau karakter (ethic atau disposition); (b) tuntutan belajar dan pembelajaran, terutama terfokus membuat orang untuk belajar dan menjadikan kegiatan belajar adalah proses kehidupan; (c) kompetensi guru dalam menerapkan pendekatan multikultural. Guru sebaiknya menggunakan metode mengajar yang efektif, dengan memperhatikan referensi latar budaya siswanya. Guru harus bertanya dulu pada diri sendiri, apakah ia sudah menampilkan perilaku dan sikap yang mencerminkan jiwa multikultural; (d) analisis terhadap latar kondisi siswa. Secara alamiah siswa sudah menggambarkan masyarakat belajar yang multikultural. Latar belakang kultur siswa akan mempengaruhi gaya belajarnya. Agama, suku, ras/etnis dan golongan serta latar ekonomi orang tua, bisa menjadi stereotipe siswa ketika merespon stimulus di kelasnya, baik berupa pesan pembelajaran maupun pesan lain yang disampaikan oleh teman di kelasnya. Siswa bisa dipastikan memiliki pilihan menarik terhadap potensi budaya yang ada di daerah masing-masing: (e) karakteristik materi pembelajaran yang bernuansa multikultural. Analisis materi potensial yang relevan dengan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain meliputi: (1) menghormati perbedaan antar teman (gaya pakaian, mata pencaharian, suku, agama, etnis dan budaya); (2) menampilkan perilaku yang didasari oleh keyakinan ajaran agama masing-masing; (3) kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (4) membangun kehidupan atas dasar kerjasama umat beragama untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan; (5) mengembangkan sikap kekeluargaan antar suku bangsa dan antra bangsa-bangsa; (6) tanggung jawab daerah (lokal) dan nasional; (7) menjaga kehormatan diri dan bangsa; (8) mengembangkan sikap disiplin diri, sosial dan nasional; (9) mengembangkan kesadaran budaya daerah dan nasional; (10) mengembangkan perilaku adil dalam kehidupan; (11) membangun kerukunan hidup; (12) menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas nasional, seperti bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih, Lambang negara Garuda Pancasila, bahkan budaya nasional yang menggambarkan puncak-puncak budaya di daerah; dan sebagainya.

2. Menetapkan Strategi Pembelajaran Berkadar Multikultural
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaran berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis), strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa pilihan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural. Namun demikian, masing-masing strategi pembelajaran secara fungsional memiliki tekanan yang berbeda. Strategi Pencapaian Konsep, digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
Strategi cooperative learning, digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan. Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent). Selain itu, penggunaan strategi cooperative learning dalam pembelajaran dapat meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif, membangun interaksi aktif antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa dalam pembelajaran. Sedangkan strategi analisis nilai, difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (cara pandang kebangsaan).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksanaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyusunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.





\



BAB III
PENUTUP


3.1     Simpulan
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005).
Relevansi pembelajaran berbasis multikultural yaitu Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antar budaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent);Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat;Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk;Memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Ada 5 dimensi pendekatan pembelajaran berbasis multikultural diantaranya (1) dimensi integrasi isi/ materi, (2) dimensi konstruksi sosial, (3) dimensi pengurangan prasangka, (4) dimensi pendidikan yang sama dan adil, (5) dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial. Langkah pengembangan nya ada 2 yaitu melakukan analisis faktor potensial bernuansa multikultural dan menetapkan strategi pembelajaran berkadar multikultural

3.2     Saran
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas, dan dapat dijadikan bahan acuan dalam pembuatan tulisan selanjutnya tentang pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan.










                     







DAFTAR PUSTAKA

Liliweri. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS

Mahfud, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogjakarta: Pustaka Pelajar


INTERAKSIONISME SIMBOLIK



INTERAKSIONISME SIMBOLIK


Pragmatisme adalah pemikiran filsafat yang meliputi bnyak hal. Ada aspek pragmatisme yang mempengaruhi orientasi sosiologis yang dikembangkan oleh mead. Ada tiga hal penting bagi interaksionisme simbolik: (1) memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dan dunia nyata, (2) memandang baik actor maupun dunia nyata sebagai proses dinamis dan bukan sebagai struktur yang statis, (3) dan arti penting yang dihubungkan kepada kemampuan actor untuk menafsirkan kehidupan sosial.
Poin terakhir adalah yang paling menonjol dalam karya filosof pragmatis John Dewey. Dewey tak membayangkan sebagai proses berpikir yang meliputi serentetan tahapan. Tahapan proses berpikir itu mencakup pendefinisian objek dalam dunia sosial, melukiskan kemungkinan cara bertindak, membayangkan kemungkinan akibat dari bertindak, menghilangkan kemungkinan yang tak dapat dipercaya dan memilih cara bertindak yang optimal. Pemusatan perhatian pada proses berpikir ini sangat berpengaruh dalam perkembangan interaksionisme simbolik.
Lewis dan smith menafsirkan bahwa mead dipengaruhi oleh behaviorisme psikologis.sebuah perspektif yang juga membawanya kearah realis dan empiris. Mead sebenarnya menyebut basis pemikirannya sebagai behaviorisme sosial untuk membedakannya dari behaviorisme radikal dari John. B. Watson. Behaviorisme radikal Watson memusatkan perhatian pada perilaku individual yang dapat diamati. Sasaran perhatiannya adalah pada stimuli atau perilaku yang mendatangkan respon.
Menurut pandangan Mead, dalam upaya menerangkan pengalaman sosial, psikologi sosial tradisional memulainya dengan psikologi individual; sebaliknya Mead selalu memberikan prioritas pada kehidupan sosial dalam memahami pengalaman sosial. Menurut Mead, keseluruhan sosial mendahului pemikiran individual baik secara logika maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri adalah mustahil secara logika menurt teori Mead tanpa didahului adanya kelompok sosial. Kelompok sosial muncul lebih dulu, dan kelompok sosial menghasilkan perkembangan keadaan mental kesadaran diri.
Mead mengidentifikasi empat basis dan tahap tindakan yang saling berhubungan. Keempat tahap itu mencerminkan satu kesatuan organic dengan kata lain saling berhubungan secara dialektis. Impuls tahap pertama adalah dorongan hati/impuls yang meliputi “stimulasi/rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat-alat indera” dan reaksi actor terhadap rangsangan, kebutuhan untuk melakukan sesuatu rangsangan itu. Rasa lapar adalah contoh yang tepat dari impuls . Aktor (binatang maupun manusia) secara spontan dan tanpa piker memberikan reaksi atas impuls.
Persepsi. Tahap kedua adalah persepsi. Persepsi melibatkan rangsangan yang baru masuk maupun citra mental yang ditimbulkannya. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan menilainya melalui bayangan mental.Aktor biasanya berhadapan dengan banyak rangsangan yang berbeda dan mereka mempunyai kapasitas untuk memilih yang mana perlu diperhatikan dan yang mana perlu diabaikan.
Manipulasi. Tahap ketiga adalah manipulasi. Tahapa manipulasi merupakan jeda yang penting dalam proses tindakan agar tanggapan tak diwujudkan secara spontan. Seorang manusia yang lapar melihat cendawan, tetapi memakannya ia mungkin mula-mula memungutnya, menelitinya, mungkin memeriksanya lewat buku petunjuk untuk melihat apakah jenis cendawan itu boleh dimakan. Sebaliknya, binatang mungkin langsung memakan cendawan itu tanpa perlakuan memeriksanya.
Konsumsi. Tahap keempat tindakan adalah tahap pelaksanaan/ konsumsi, atau mengambil tindakan yang memuaskan dorongan hati yang sebenarnya. Menurut Mead, gerak atau sikap isyarat adalah mekanisme dasar dalam tindakan sosial dan dalam proses sosial yang lebih umum. Menurut definisi Mead, gesture adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara sosial) yang tepat dari organisme kedua”. Baik binatang maupun manusia, mampu membuat isyarat dalam arti bahwa tindakan seorang individu tanpa piker dan secara otomatis mendapatkan reaksi dari individu lain.


Simbol-Simbol Signifikan
Isyarat menjadi simbol signifikan bila muncul dari individu yang membuat simbol-simbol itu sama dengan sejenis tanggapan (tetapi tak selalu sama) yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran isyarat. Kumpulan isyarat suara yang paling mungkin menjadi simbol yang significant adalah bahasa:” simbol yang menjawab makna yang dialami individu pertama dan yang mencari makna dalam individu kedua. Isyarat suara yang mencapai situasi seperti itulah yang dapat menjadi bahasa. Kini ia menjadi simbol signifikan dan memberitahukan makna tertentu. Fungsi isyarat adalah menciptakan peluang diantara individu yang terlibat dalam tindakan sosial tertentu dengan mengacu pada objek atau objek-objek yangmenjadi sasaran tindakan itu.

Pikiran (Mind)
            Pikiran yang didefinisikan Mead sebagau proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu. Pikiran adalah fenomena sosial. Karakteristik istemewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah. Dunia nyata penuh dengan masalah dan fungsi pikiranlah untuk mencoba menyelesaikan masalah dan memungkinkan orang beroperasi lebih efektif dalam kehidupan.

Diri (Self)
            Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerim diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri berhubungan secara dialektis dengan pikiran. Artinya di satu pihak Mead menyatakan bahwa tubuh  bukanlah diri dan baru akan menjadi diri apabila pikiran telah berkembang.


Masyarakat
Pada tingkat paling umum Mead mengggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk aku (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri.

Interaksionisme simbolik: Prinsip-prinsip Dasar
  1. Kapasitas Berpikir
Kemampuan berpikir memungkinkan manusia bertindak dengan pemikiran ketimbang hanya berprilaku dengan tanpa pemikiran. Manusia pasti sering kali membangun dan membimbing apa-apa yang mereka lakukan ketimbang melepaskannya begitu saja. Kemampuan untuk berpikir tersimpan dalam pikiran, tetapi teoritisi interaksionisme simbolik mempunyai konsep yang agak luar biasa mengenai pikiran yang menurut mereka berasal dari sosialisasi kesadaran.
  1. Berpikir dan berinteraksi
Semua jenis interaksi tak hanya selama sosialisasi, memperbesar kemampuan kita untuk berpikir. Lebih dari itu, pemikiran membentuk proses interaksi. Dalam kebanyakan interaksi, actor harus memperhatikan orang lain dan menentukan kapan dan bagaiman cara menyesuaikan aktivitasnya terhadap  orang lain.


  1. Pembelajaran makna dan simbol
Manusia membepajari simbol dan makna di dalam interaksi sosial. Manusia menanggapi tanda-tanda dengan berpikir. Sebaliknya, mereka menanggapi simbol dengan cara berpikir. Simbol adalah aspek penting yang memungkinkan orang bertindak menurut cara-cara yang khas dilakukan manusi.
  1. Aksi dan interaksi
Pada interaksi  sosial manusia (yang melibatkan dua orang actor atau lebih yang terlibat dalam tindakan sosial timbal balik). Tindakan sosial adalah tindakan dimana individu bertindak dengan orang lain dalam pikiran. Dalam interaksi sosial, para actor terlibat dalam proses saling mempengaruhi.
  1. Membuat pilihan
Kemampuan menggunakan arti dan simbol itulah maka manusia dapat membuat pilihan tindakan dimana mereka terlibat. Orang tak harus menyetujui arti dan simbol yang dipaksakan terhadap mereka. Berdasarkan penafsiran mereka sendiri, manusia mampu membentuk arti baru dan deretan arti baru terhadad situasi.
  1. Tentang diri dan karya Erving Goffman
Diri (self) atau kedirian adalah konsep yang sangat penting bagi teoritisi interaksionisme simbolik. Rock menyatakan bahwa “ diri merupakan skema intelektual interaksionisme simbolik yang sangat penting. Karya Erving Goffman. Karya terpenting tentang diri dalam interaksionisme simbolik adalah presentation of self in everyday life. Konsep diri Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead, khususnya dalam diskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan, “I” dan “Me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial.
            Pengelolaan Kesan , mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan, seperti gerak isyarat yang tak diharapkan, gangguan yang tak menguntungkan dan kesalah bicara atau bertindak maupun tindakan yang diharapkan seperti membuat adegan.
            Role Distance, menerangkan derajat pemisahan antara diri individu dengan peran yang diharapkan dimainkannya. Misalnya bila anak-anak lebih tua menaiki komedi putar, kemungkinan mereka menyadari bahwa mereka benar-benar terlalu tua untuk menikmati pengalaman demikian.
            Stigma, kebanyakan teks dari stigma memusatkan perhatian pada orang yang mempunyai stigma nyata, dan sangat aneh (misalnya, kehilangan hidung).
            Analisis Kerangka, Goffman bergeser jauh dari akar interaksionisme simbolik klasik dan mengarah ke studi struktur kehidupan sosial berskala kecil. Kerangka penafsiran yang memungkinkan individu menempatkan, merasakan mengenali dan menamai kejadian-kejadian dalam kehidupan mereka dan dunia pada umumnya.
            Kelompok dan masyarakat, masyarakat tidak tersusun dari struktur makro. Esensi terdapat masyarakat terdapat pada aktor dan tindakan: “ masyarakat terdiri dari manusia yang bertindak, dan kehidupan masyarakat dapat dilihat sbegai terdiri dari tindakan mereka. Masyarakat adalah manusia adalah tindakan kehidupan kelompok adalah kompleks aktivitas tanpa henti.

            Kritik
                        Setelah menganalisis gagasan interaksionisme simbolik, terutama gagasan Mead, Blumer, dan Goffman dari aliran Chicago, kini kita akan mengemukakan beberapa kritik utama yang ditujukan terhadap perspektif ini.
                        Pertama, aliran utama interaksionisme simbolik dituduh terlalu mudah membuang teknik ilmiah konvensional. Eugene Weinstein dan Judith Tanur dengan tepat menyatakan hal ini :” hanya karena kadar kesadaran itu kualitatif, tak berarti pengungkapan keluarnya tak dapat dikodekan, diklasifikasi, atau bahkan dihitung.
                        Kedua, M. Kuhn, W. Kolb, B.Meltzer, J. Petras dan L. Reynolds, dan banyak lagi yang lainnya mengkritik ketidakjelasan konspe-konsep esensial Meadian seperti: pikiran, diri, I dan me. Lebih umum lagi, Kuhn berbicara tentang ambiguitas dan kontradiksi dalam Mead. Di luar teori Meadian, mereka mengkritik berbagai konsep dasar teoritisi interaksionisme simbolik yang dinilai keliru, tidak tepat, dank arena itu tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun teori dan riset.
                        Ketiga, interaksionisme simbolik dikritik karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berskala luas. Kritik ini diekspresikan dengan berbagai cara. Misalnya, Weinstain dan Tanur mengatakan bahwa interaksionisme simbolik mengabaikan keterkaitan dari hasil-hasil: “ adalah hasil-hasil agregat yang membentuk keterkaitan diantara episode-episode interaksi yang merupakan perhatian dari sosiologi melalui sosiologi.
                        Keempat, menyatakan bahwa interaksionisme simbolik tak cukup mikroskopik, mengabaikan peran penting factor  seperti ketidaksadaran dan emosi. Begitu pula, interaksionisme simbolik dikritik karena mengabaikan peran penting factor psikologis seperti kebutuhan, motif, tujuan, dan aspirasi.
Mengenai akar interaksionisme simbolik dalam filsafat pragmatis (karya John Dewey) dan behaviorisme psikologis (karya John B. Watson). Interaksionisme simbolik dikembangkan di universitas Chicago di tahun 1920-an dari pertemuan pengaruh pragmatism, behaviorisme, dan pengaruh lain seperti sosiologi simmelian.
 Interaksionisme simbolik dibangun bertolak belakang dengan teori reduksionisme behaviorisme psikologis dan determinisme structural dari teori sosiologi yang lebih berorientasi makro, seperti fungsionalisme structural. Orientasi khususnya adalah mengarah pada kapasitas mental actor dan hubungannya dengan tindakan dan interaksi. Semuanya ini dipahami dari sudut proses, ada kecenderungan melihat actor dipaksa oleh keadaan psikologis internal atau oleh kekuatan structural berskala luas.
                        Teori terpenting dalam interaksionisme simbolik adalah teori George.H Mead. Pada dasarnya teori Mead menyetujui keunggulan dan keutamaan dunia sosial. Artinya, dari dunia sosial itulah muncul kesadaran, pikiran, diri, dan seterusnya. Unit paling mendasar dalam teori sosial Mead adalah  tindakan, yang meliputi empat tahap yang berhubungan secara dialektis, yakni : impuls, persepsi, manipulasi, dan konsumsi. Tindakan sosial melibatkan dua orang atau lenih dan mekanisme dasar tindakan sosial adalah isyarat. Binatang dan manusia mampu melakukan percakapan dengan isyarat, namun hanya manusia yang dapat mengkomunikasi arti gerak isyarat mereka secara sadar.  Manusia mempunyai kemampuan istimewa untuk menciptakan isyarat yang berhubungan dengan suara, dan kemampuan ini menimbulkan kemampuan khusus untuk berkomunikasi satu sama lain dalam artian sesungguhnya. Simbol signifikan juga membukakan peluang untuk berfikir maupun berinteraksi dengan simbol-simbol.
                        Mead melihat untaian proses mental sebagai bagian proses sosial lebih luas yang meliputi intelegensi reflektif, kesadaran, kesan mental, arti, dan yang paling umum, pikiran. Manusia mempunyai kapasitas khusus untuk melakukan percakapan batin dengan diri sendiri. Seluruh proses mental itu menurut Mead bukan terletak di dalam otak melainkan di dalam proses sosial.
                        Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai objek. Sekali lagi, diri muncul di dalam proses sosial.Mekanisme umum diri adalah kemampuan manusia menempatkan diri sendiri dalam kedudukan sebagai orang lain, bertindak sebagaimana orang lain bertindak dan melihat diri sendiri seperti orang lain melihat diri mereka sendiri. Mead menurut asal usul melalui tahap bermain-main (playing), dan permainan (game) masa kanak-kanak. Yang sangat penting dalam tahap permainan itu adalah munculnya kemampuan menggeneralisasi orang lain. Kemampuan untuk memandang diri sendiri dari sudut pandang komunitas adalah sangat penting untuk kemunculan diri maupun kemunculan aktivitas kelompok yang terorganisir. Diri juga terdiri dari dua tahap “I” yakni aspek kreatif yang tak dapat diprediksi dari diri, dan “Me” yakni sekumpulan sikap terorganisir orang lain yang diambil oleh ator. Kontrol sosial terwujud melalui “me” Sedangkan “I” adalah sumber inovasi masyarakat. Mead sedikit sekali berbicara tentang, masyarakat, yang ia pandang secara sangat umum sebagai sebagai proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri.

MAKALAH NGABEN


BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Sejak dulu upacara atau ritual merupakan bagian penting yang tampak nyata mengiringi sistem beragama orang Hindu-Bali. Selain upacara atau ritual, terdapat tattwa (filsafat) dan susila (etika) yang menjadi kerangka dasar agama Hindu. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang paling memberi arti atas sistem agama secara keseluruhan. Upacara agama dalam agama Hindu, dilandasi oleh susila agama, susil didasarkan pada tattwa agama, dan pelaksanaan upacara agama tidak bisa dilepaskan dari tatanan tattwa (Kebayantini, 2013: 1)
            Pelaksanaan ajaran agama Hindu di Bali lebih banyak diwarnai dengan jalan Bhakti dan Karma. Ajaran bhakti dan karma ini lebih ditampakan pada ritus dan simbolik dibandingkan dengan pemahaman pengetahuan (filsafat).  Artinya tindakan  agama Hindu d Bali lebih dominan menonjolkan praktek ritualnya (upacara). Bentuk-bentuk ritual di Bali tampak pada rangkaian upacara yang disebut dengan Panca Yajna yang terdiri dari Dewa Yajna, Pitra Yajna, Rsi Yajna, Manusa Yajna, dan Bhuta Yajna. Adapun wujud dari dari Bhakti seorang Prati Sentana (keturunan) yang berhutang budhi sangat besar dan tak ternilai harganya kepada para leluhur, dibayar dengan melaksanakan Pitra Yajna yaitu Ngaben. Seperti halnya bila telah meninggal , seorang prati sentana wajib melakukan penyucian roh leluhur dengan Pitra Yajna yang mana dalam pelaksanaannya dengan melakukan Pitra Puja yang dilakukan oleh para Pandita dengan persembahan berupa sesajen yang merupakan sarana untuk beliau mencapai tempat yang sesuai dengan karmanya.
            Wiana (1998:35-36) menjelaskan bahwa berdasarkan keadaan jenazahnya, upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga macam , yaitu (1) sawa wedana adalah upacara ngaben yang masih ada jenazahnya utuh, (2) asti wedana adalah upacara ngaben dimana tidak ada jenazah utuh orang yang diaben, tetapi tulang belulangnya yang diambil dari kuburan (setra), karena sudah meninggal dan dikubur sebelumnya, dan (3) swasta adalah upacara ngaben dimana jenazah orang yang meninggal tidak dapt diketahui.
            Pelaksanaan upacara kematian atau ngaben di Bali sering kali menjadi rumit dan menemukan masalah karena dibangun oleh budaya agama dengan tingkat rigiditas yang tinggi. Orang Bali Hindu sering terjebak oleh tradisi yang cenderung mengkonstruksi kemegahan prosesi ritual yang menelan biaya tinggi, tetapi mengabaikan kemampuan orang yang melakukan upacara tersebut (Kebayantini, 2013: 7-8).
            Banyak pihak telah berupaya untuk dapat mengatasinya agar orang Bali Hindu dapat melaksanakan uapacara keagamaan terutama ngaben dengan rasa aman, nyaman, sekaligus tidak memberatkan secara ekonomi tetapi kebutuhan dan tujuan sosial religiusnya dapat dicapai. Sementara itu, secara internal masalah yang dihadapi cukup kompleks dan rumit. Beban adat, misalnya dirasa memberatkan dan seolah-olah tidak mengenal belas kasihan terutama kepada warga yang memiliki keterbatasan modal ekonomi. Tradisi yang tumbuh dan berkembang subur di desa adat kemudian diperkuat dengan awig-awig menyebabkan warga desa adat tidak mempunyai banyak pilihan. Akibatnya banyak warga desa adat yang melaksanakan upacara agama (termasuk upacara ngaben) dilandasi perasaan takut, yaitu takut disalahkan orang banyak dan takut dikucilkan atau kesepekang.
Memang manusia mungkin saja memanipulasi apa yang dialaminya secara kejiwaan, sehingga dalam sikap dan tingkah laku terlihat berbeda, bahkan mungkin bertentangan dengan keadaan sebenarnya. Mereka yang sebenarnya sedih, dapat berpura-pura tertawa. Ataupun karena perasaan yang sangat gembira, dapat membuat seseorang menangis. Namun secara umum, sikap dan prilaku baik yang terlihat adalah gambaran dari gejala jiwa seseorang. Sikap dan prilaku yang baik tampak dalam perbuatan maupun mimic (air muka) umumnya tak jauh berbeda dari gejolak batinnya, baik cipta, rasa, dan karsanya.
Selanjutnya agama juga menyangkut masalah yang berhubungan dengan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tetap dan rinci.  Nilai-nilai agama yang dipilih seseorang dijadikan sebuah pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam kehidupan mereka, seperti halnya dalam sebuah upacara ngaben. Dari uraian diatas  akan tampak adanya implikasi dari segi psikologis ritual ngaben terhadap sraddha dan bhakti umat Hindu.

1.2 Rumusan Masalah
            1. Apa maksud dan tujuan dari upacara ngaben ditinjau dari psikologi agama?
            2. Apa jenis jenis upacara ngaben?
            3. Apakah landasan filosofis upacara ngaben?
            4. Bagaimana implikasi psikologi ritual ngaben terhadap sradha dan bhakti
            umat hindu?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dan tujuan dari ngaben ditinjau dari psikologi agama..
            2. Untuk mengetahui jenis jenis upacara ngaben.
            3. Untuk mengetahui landasan filosofis upacara ngaben
4. Untuk mengetahui implikasi psikologi ritual ngaben terhadap sradha dan  bhakti umat  Hindu.

1.4 Manfaat Penulisan
            Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat khususnya umat Hindu tentang makna upacara ngaben, landasan filosofis dari pelaksanaan upacara ngaben, serta membangun kesadaran umat mengenai ngaben kaitannya dengan sradha dan bhakti.

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Maksud dan Tujuan dari Upacara Ngaben ditinjau dari Psikologi Agama
      Ngaben berasal dari kata beya. Beya berarti bekal, yakni berupa jenis upakara yang diperlukan dalam upacara ngaben  itu, kemudian dalam bahasa Indonesia menjadi biaya atau prabeya dalam bahasa Bali. Orang yang menyelenggarakan  beyadalam bahasa Bali disebut meyanin. Kata ngaben, meyanin, sudah menjadi bahasa baku, untuk menyebutkan upacara sawa wedhana. Jadi sesungguhnya tidak perlu lagi diperdebatkan akan asal usul itu. Yang jelas ngaben adalah penyelenggaraan upacara untuk sawa bagi orang yang sudah meninggal.
      Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tempat untuk memproses menjadi tanah disebut pemasmian dan areal disebutnya disebut tunon. Tunon berasal dari kata tunu yang berarti membakar. Sedangkan pemasmian berasal darikatabasmi yang berarti hancur. Tunon lain katanya adalah setra atau sema. Setra artinya tegal. Sedangkan sema berasal dari kata smasama yang berarti durga. Dewi Durga yang berstana di Tunon ini.
            Secara filosofis manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani. Menurut Agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis yaitu: Stula Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Ketika manusia itu meninggal, suksma sarira dengan atmaakan pergi meninggalkan badan, atma yang sudah begitu lama menyatu dengan sarira, atas kungkungan suksma sarira sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi atma.
            Untuk tidak terlalu lama atma terhalang perginya perlu badan kasarnya diupacarai untuk mempercepat proses kembalinya, kepada sumbernya di alam, yaki Panca Mahabhuta, demikian juga sang atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi kea lam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut ngaben. Jika upacara ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka, seperti yang dijelaskan dalam Lontar Tattwa Loka Kretti (lampiran 5a):
yan wwang mati mapendhem ring prathiwi salawasya tan kinenan widhi-widhana, byakta matemahan rogha ning bhuana, haro-haro gering mrana ring rat, atemahan gadgad”
Terjemahan:
“kalau orang mati ditanam pada tanah, selamanya tidak diupacarai diaben, sesungguhnya akan menjadi penyakit bumi, kacau sakit merana di dunia, menjadi gadgad (tubuhnya)”

            Lahir, hidup, dan mati sudah menjadi hukum rta ( hukum Tuhan) yang terus bergilir menimpa dan dialami oleh makhluk hidup termasuk manusia. Kelahiran dan kematian adalah suatu konsep yang mendukung rotasi kehidupan ini, seharusnya diterima dengan lapang dada dan tidak larut dalam kesedihan. Di dalam kitab suci Bhagawad Gita VIII.5 dinyatakan sebagai berikut:
            “anta kale ca mam eva
             Smaran muktva kalevaram
             Yah prayati sa mad bhavam
             Yati nasty atra samsayah.
Terjemahan:
Barang siapa pada waktu ajal tiba meninggalkan badan jasmani ini mengenang aku selalu, sampai kepada-Ku, ini tak dapat diragukan lagi (Pudja, 2003:208).

            Kematian adalah suatu proses sakral atau suci yang masing-masing agama mempunyai cara-cara sendiri untuk memberikan penghormatan terakhirnya sebagai manusia yang memiliki peradaban budaya. Mati suatu proses kodrat dalam lingkaran kehidupan manusia yang disebut dalam Tri Kona yaitu Uttpeti(lahir), Stiti(hidup), dan Pralina(mati). Kamatian tidak dapat diduga, direncanakan dan diinginkan. Proses penghormatan pada orang yang meninggal adalah ungkapan rasa bhakti terhadap para leluhur.
            Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
            Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kuruksetra, seketika hanya dengan dengan sarana catur wija. Para pembesar India seperti Nyonya Indira, dalam waktu yang singkat sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet, hanya perlu pancake tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-matram atau kidung yang terus menerus mengalun.
            Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternative untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara, dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga,menunggu dewasa menurut sashih-sasih lain.
            Kemampuan seseorang untuk menggali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam sikap dan tingkah laku merupakan cirri dari kematangan beragama. Jadi kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari (Titib dan Mardika, 2004: 66). Seperti yang telah diuraikan tersebut terkait dengan pelaksanaan upacara ngaben, dimana seseorang yang memiliki kematangan dalam beragama akan memahami bahwa upakara yang besar dan megah tidak menjamin manusia saat meninggalkannya kelak akan secara otomatis mendapatkan sorga (amor ring acintya) akan tetapi, karma wasana juga akan menuntun dan menentukan kehidupan pada saat menjelma kembali (reinkarnasi). Para sentana atau keluarga hanya berusaha untuk menjalankan kewajiban mengupacarai orang tua yang meninggal sesuai dengan kemampuannya, sebagai wujud rasa bhakti kepada orang tua atau leluhur yang meninggal karena mati itu adalah perpindahan kehidupan.
            Setelah orang meninggal atau mati dalam ajaran agama Hindu wajib dilakukan upacara ngaben. Pelaksanaan upacara ngaben beragam berdasarkan keadaan jenazah yang diaben, maka upacara ngaben dapat dibagi menjadi tiga antara lain: (1) sawa wedana yaitu ngaben yang langsung ada jenazahnya, sebagai objek dari pengabenan adalah sjenazah utuh dari seseorang yang telah meninggal. Prosesnya adalah setelah upacara nyiramang, layon digulung dengan kain putih yang sudah dirajah selanjutnya diletakan di bale gede. Pada hari yang ditentukan atau hari pengutangan, maka dilaksanakan pelebon diawali dengan upacara ngaskaradan caru pengelambuk selanjutnya jenazah dinaikan diusung lalu ke setra.
            Perjalanan menuju setra atau kuburan ditaburkan sekar urayang terdiri dari beras kuning, uang kepeng atau pis bolong, daun temen dan kembang rampe. Penaburan sekar ura dimaksudkan sebagai perpisahan antara yang telah meninggal dengan keluarga yang ditinggalkan agar selalu diberikan kesejahteraan dan kemakmuran, serta dibarengi dengan beleganjur yang gemuruh dengan maksud membangunkan unsur panca maha bhuta, pada persimpangan jalan dilakukan pemutaran sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam dengan maksud secara filosofi perpisahan antara yang akan dipelebon dengan desa pakraman. Selanjutnya, begitu sampai di tempat pembasmian kembali diputar kemudian diturunkan dan diadakan upacara pembasmian. Sebelumnya diadakan upacara ngatur piuningke pura dalem dan pura prajapati dengan menyertakan daksina linggih sebagai perwujudan atma yang meninggal.

2.2 Jenis-Jenis Upacara Ngaben
            Ida Ayu Tary Puspa (2013:109-112) menguraikan ada 5 jenis upacara ngaben di Bali adalah sebagai berikut :
1.      Upacara pengabenan ngwangun
Upacara ngaben ngwangun terdiri atas sawa prateka, nyawa wadana, dan asti wadana. Ngaben ngwangun adalah pelaksanaan upacara ngaben yang menggunakan kuantitas upakara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap. Pelaksanaan upacara ngaben ngwangun memiliki dua macam tatanan upacaranyanya menurut ketentuan nista, madya, dan utama.
            Yang dimaksud dengan sawa prateka adalah mengupacarai jenazah, atau dengan kata lain ada jenazah yang diupacarai. Upacara pengabenan ngwangun sawa wadana adalah upacara pengabenan yang tidak disertakan dengan adanya jenazah., melainkan dengan cara membuatkan jenazah secara simbolisasi dibuat dari lempengan kayu cendana dengan ukuran lebar tiga jari (tigang guli) dan panjangnya dengan ukuran dari ujung siku sampai ujung jari kelingking yang disebut satu astha. Pelaksanaan upacara ini tetap sama dengan ngaben ngwangun sawa prateka mengenai kuantitas upakaranya.
2.      Upacara pengabenan pranawa
Pelaksanaan upacara ngaben pranawa memiliki kuantitas lebih kecil dari ngaben ngwangun. Tetapi mengenai kualitasnya sama. Dalam ngaben pranawa ini ditekankan adalah pembersihan dan penyucian terhadap kesembilan prana, yaitu prana, wyana, udana, samana, kurma, apana, naga, dhananjaya, dan krkara.


3.      Upacara pengabenan Swastha
Upacara pengabenan yang jenasahnya tidak ditemukan yaitu termasuk ke dalam upacara ngaben yang sangat sederhana karena menggunakan kuantitas terkecil, karena tidak disertakan upacara ngaskara, dan karena tidak ngaskara, maka tidak menggunakan kajang sehingga tidak ada pengajuman kajang.

4.      Upacara ngaben ngelungah
Upacara ngaben ngelungah adalah upacara ngaben apabila jenazahnya adalah anak-anak. Anak-anak yang dimaksudkan disini adalah anak-anak telah tanggal gigi diperlakukan seperti orang dewasa dan anak-anak bayi yang berumur kurang dari tiga bulan dilakukan dengan cara dikubur dengan upacara secukupnya, yaitu banten pejati untuk di Mrajapati sebagai permakluman serta dilengkapi dengan banten lainnya sesuai dengan desa, kala, dan patra. Kemudian apabila dilakukan upacara atiwa- atiwa hal itu disebut dengan ngelungah.
5.      Upacara ngaben mitra yajna
Ngaben mitra yajna adalah ngaben yang sederhana dengan pengawak daksina. Ngaben inilah yang pernah dilaksanakan oleh Ida Pedanda Made Sidemen pada waktu beliau lebar. Pengabenan yang sangat sederhana karena tidak memakai upakara besar hanya dengan pengawak daksina dan hanya memakai peti sebagai tempat jenazah saat diberangkatkan ke patunon.

2.2 Landasan Filosofis Upacara Ngaben
Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus.
1.   Landasan filosofis upacara ngaben secara umum
Kebayantini Landasan pokok ngaben adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah:

1.      Ketuhanan/Brahman
Brahman merupakan asal terciptanya alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Beliau juga merupakan tujuan akhir kembalinya semua ciptaan itu. Dalam kekawin Arjuna Wiwaha dirumuskan secara singkat dengan kalimat sang sangkan paraning dumadi artinya Beliau sebagai asal dan kembalinya alam semesta beserta semua isinya. Berdasarkan atas keyakinan inilah, upacara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengembalikan semua unsur yang menjadikan manusia ke asalnya.
2.      Atman
Keyakinan akan adanya Atman pada masing-masing badan manusia. Ia yang menghidupkan manusia. Ia yang menghidupkan semua organ tubuh manusia. Atma ini merupakan serpihan dari Brahman. Suatu saat setelah tiba waktunya, ia pun akan kembali kepada asalnya yang suci.,Atmaperlu disucikan. Hal inilah yang memerlukan upacara.
3.      Karmaphala
Manusia hidup tidak bisa lepas dari kerja. Kerja itu ada atas dorongan suksma sarira (Budi, Manah, Indria, dan Aharalagawa) setiap kerja akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) berpahala baik pula. Kerja yang buruk (asubha karma) akan berakibat keburukan pula. Pahala karma ini akan merupakan beban bagi Atma akan kembali ke asalnya. Namun buah karma yang buruk, beban Atma yang akan menghempaskan kea lam bawah (Neraka). Oleh karena itu manusia perlu berusaha untuk membebaskannya. Bagi para Yogi, ia mampu membebaskan dosa-dosanya tanpa bantuan sarana dan orang lain. Tapi bagi manusia biasa, ia memerlukan pertolongan. Hal inilah yang menyebabkan perlunya upacara ngaben, yang salah satu aspeknya akan menebus dan menyucikan dosa-dosa itu.
4.      Samsara/Punarbhawa
Samsara artinya penderitaan. Atma lahir berulang-ulang ke dunia ini. Sykur kalau lahirnya menjadi binatang. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upacara ngaben, yang salah satu tujuan adalah untuk melepaskan  Atma untuk dapat kembali ke asalnya. Hal ini disimbolkan dengan tirtha pangentas dan aksara-aksara kelepasan lainnya seperti rurub kajang, recedana, dan lain-lain.
5.      Moksa
Moksa artinya kebahagiaan abadi. Inilah yang menjadi tumpuan harapan semua manusia dan inilah menjadi tujuan Agama Hindu. Demi tercapainya moksa itu, atma  harus disucikan. Dosa-dosanya harus dibebaskan. Keterikatannya dengan duniawi harus diputus, kemudian terakhir ia harus dipersatukan dengan sumbernya. Inilah menjadi konsep dasar upacara ngaben, memukur, dan terakhir ngalinggihang Dewa Hyang pada Sanggah Kamulan atau Ibu Dengen. Hal ini mengandung arti atma bersatu dengan sumbernya (Kamulan Kawitan) atau kata lain mencapai Moksa.

2.      Landasan filosofis upacara ngaben secara khusus
Yang menjadi landasan filosofis yang lebih khusus dari upacara ngaben adalah:
1.      Cinta yang mendalam
Sangat besar hutang budhi manusia terhadap leluhurnya. Ia ada karena jasa leluhur, khususnya bapak dan ibu. Jasanya begitu besar, tidak bisa terlunasi, kecuali dengan jasa pula. Ia berusaha bagaimana ia mampu untuk mengupayakan agar leluhurnya mendapat keselamatan. Usaha ini yang berupa bhakti harus ada buktinya. Dan bukti ini harus dihayati dengan indria dan dapat memberi kepuasan indria itu sendiri. Sebagai bukti rasa cinta kasih itu,ia akan mempersembahkan segala-galanya. Yang megah dan terindah. Sebagai simbol dari rasa cinta ini, ia akan memenuhi semua sarana yang diperlukan. Ia tidak memperhitungkan mahalnya nilai sarana. Yang penting dapat mempersembahkannya. Ia akan mengikuti semua sastra.
2.      Pembebasan dosa
Manusia bekerja atas dorongan budi, manah indria, dan ahamkara. Kalau indria dan ahamkara yang mendominasi, kecendrungan karma itu adalah buruk, yang akan menjadikan dosa. Manusia tidak bisa lepas dari dosa-dosa ini. Tapi antara manusia satu dengan yang lainnya akan berbeda kualitas dosanya, sesuai dengan lingkungan kerja manusia itu sendiri. Usaha pembebasan atas dosa-dosa memang sangat dibutuhkan dalam upacara ngaben. Dari dasar pemikiran inilah, mengapa seorang raja harus diaben secara besar-besaran, bahkan memakai naga banda.
2.3 Ngaben Sebagai wujud Sradha Bhakti Kepada Leluhur
            Di dalam tradisi Hindu seseorang tidak hanya diajarkan memuja Tuhan, tetapi juga menghormati atau memuja leluhur. Wiana (1998:2) menyatakan bahwa dalam tradisi orang Bali-Hindu ayah dan ibu disebut sebagai guru Rupaka. Selain guru rupaka ada guru swadyaya, yaitu Tuhan. Sedangkan guru pengajian adalah guru yang memberikan bekal ilmu pengetahuan, dan guru wisesa adalah pemerintah. Guru rupaka adalah orang tua yang menjadikan seorang anak manusia ada di dunia, mulai dari dalam kandungan, dilahirkan, dipelihara dan dididik agar dapat menjadi anak yang baik, berguna, dan berbhakti yang disebut dengan suputra.
            Di dalam kitab Sarasamuscaya sloka 228 (kajeng, 1978: 158) dijelaskan tentang arti anak sebagai berikut:
“Yang dianggap anak, adalah orang yang menjadi pelindung, orang yang memerlukan pertolongan serta untuk menolong kaum kerabat yang tertimpa kesengsaraan, untuk disedekahkan tujuannya, akan segala hasil usahanya, gunanya memasak menyediakan makanan untuk orang-orang miskin, orang yang demikian itu putra sejati namanya”.
Semua agama dan kebudayaan umat manusia mengajarkan agar anak dapat menghormati dan berbhakti kepada orang tuanya. Di dalam ajaran agama Hindu ada keyakinan bahwa manusia yang lahir ke dunia ini memiliki tiga hutang moral (tri rna). Salah satunya adalah hutang moral yang harus dibayar agar terbebas dari belitan hutang sehingga dapat menjadi manusia yang lebih baik. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan dan ditunjukan oleh seorang anak untuk membayar hutang kepada orang tua atau leluhurnya. Menurut Wiana (2004:4), membayar hutang kepada orang tua (leluhur) dapat dilakukan dengan melaksanakan upacara manusa yajna dan pitra yajna.
Manusa Yajna adalah ajaran yang bermakna seseorang harus melaksanakan pitra rna atau merupakan salah satu bentuk hormat dan pengorbanan suci kepada para leluhur. Cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, melaksanakan yajna kepada anak-anak. Karena dalam Hindu ada keyakinan tentang punarbhawa, yaitu reinkarnasi atau kelahiran kembali. Orang Bali Hindu percaya anak-anak yang lahir ke dunia adalah penjelmaan kembali dari leluhurnya. Oleh karena itu, anak-anak haruslah dirawat, dibesarkan, dilindungi, dan dididik dengan baik, penuh rasa kasih sayang karena dengan melakukan semua itu berarti menghormati leluhur. Inilah salah satu bentuk manusa yajna sebagai cara untuk menunjukan rasa kasih saying, hormat, dan bhakti kepada leluhur. Ada kepercayaan bahwa para leluhur yang telah meninggal dunia baru bisa bereinkarnasi jika telah bersih, atau sudah diaben.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya. Meminjam teori Bordieu (fashri, 2006) dalam Kebayantini, yang menguraikan bahwa upacara ngaben merupakan “struktur-struktur yang dibentuk” dan “struktur-struktur yang membentuk”. Di satu sisi upacara ngaben berperan sebagai sebuah struktur yang membentuk kehidupan sosial individu manusia Bali Hindu. Di sisi lain upacarangaben dipandang sebagai struktur yang dibentuk oleh kehidupan sosial manusia Bali-Hindu. Orang Bali menganggap upacara ngaben sebagai salah satu cara atau jalan untuk dapat menghormati dan berbhakti kepada leluhurnya. Seorang anak hormat dan bakti kepada orang tuanya tidak hanya ditunjukan ketika orang tuanya masih hidup. Tetapi juga ditunjukan ketika orang tuanya meninggal.
Rasa hormat dan bhakti yang ditunjukan dengan mengadakan upacara ngaben ini dalam banyak hal merupakan kesadaran dari seorang anak tentang ajaran panca wida dan kepercayaan akan ajaran Hindu tentang hukum punarbhawa. Jadi di satu sisi upacara ngaben  yang dilandasi  panca wida dan punarbhawa merupakan struktur yang membentuk seorang anak untuk menjadi anak suputra, yaitu anak yang hormat dan berbhakti kepada orang tuanya. Hal ini dapat ditunjukan dengan bagaimana ia berusaha secara ekonomi agar dapat membiayai upacara ngaben, bagaimana secara sosial ia mampu menggalang dan membentuk kerja sama dengan kerabatn dan orang-orang di lingkungannya untuk melaksanakan uoacara ngaben. Sementara itu d sisi lain ia mengasah cara berpikir, mengembangkan  kebiasaan, sikap, perkembangan waktu, ruang, dan dinamika kehidupan orang Bali. Demikian konsep suputra ( Gorda, 1996: 87) dalam Kebayantini, yang memiliki arti penting sebagai jembatan menyucikan atman orang tua (leluhur).
Dewasa ini umat Hindu di Bali dalam melaksanakan upacara ngaben telah menempuh dengan jalan perseorangan atau ngiring di sebuah griya. Dalam pelaksanaan upacara ngaben tersebut masyarakat Hindu cenderung hiperiualitas atau melaksanakan upacara secara besar-besaran (Ida Ayu Tary Puspa, 2014:11).
Piliang (Ida Ayu Tary Puspa, 2014:11) mengatakan bahwa berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan tersebut secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang dicontohkan dalil-dalil nyang telah digariskan, maka yang berkembang adalah hiperealitas ritual (hyper-reality of ritual) atau hiperitual (hyper-ritual),yaitu realitas ritual keagamaan yang telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkemabng adalah berbagai bentuk realitas-realitas ritual artificial, yang berbagai budaya materi dan gaya hidup sendiri sebagai ruang penyucian jiwa.
BAB III
PENUTUP


3.1 Simpulan
      Ngaben dalam bahasa Bali berkonotasi halus yang sering disebut dengan Palebon, yang berasal dari kata lebu yang artinya prathiwi atau tanah. Palebon artinya menjadikan prathiwi (abu). Untuk menjadikan tanah itu ada dua cara yaitu dengan cara membakar dan menanam ke dalam tanah. Namun cara membakar adalah yang paling cepat.
Tujuan dari upacara ngaben adalah agar ragha sarira cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu panca maha buthadi alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam pitra. Oleh karenanya, ngaben sesuangguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mesti meninggal segera harus diaben.
Landasan filosofis ngaben bisa diuraikan secara umum dan secara khusus. Landasan Landasan pokok ngabensecara umum adalah lima kerangka agama Hindu, yang disebut Panca Sradha. Panca Sradha atau lima keyakinan itu adalah:Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara, dan, Moksa. Sedangkan secara khusus ngaben dilaksanakan karena cinta yang mendalam terhadap leluhur dan pembebasan dosa.
Upacara ngaben sebagai simbol pembayaran utang kepada leluhur sarat akan nilai, norma, dan etika sosial kemasyarakatan dan bersifat religius adalah representasi dari sikap seorang anak yang hormat, berbakti, dan cinta kasih kepada leluhurnya. Upacara ngaben merupakan perwujudan dan pengejewantahan sradha dan bhakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya.
3.2 Saran
Masyarakat Hinduk hendaknya dapat meningkatkan wawasannya tentang upacara ngaben. Hal ini dimaksudkan agar banyak belajar dari sumber-sumber sastra sehingga setiap melaksanakan upacara agama berdasarkan sastra suci Hindu.

DAFTAR PUSTAKA


Tary Puspa, Ida Ayu. 2013. Bali Dalam Perubahan Ritual Komodifikasi Ngaben di Era Globalisasi. Denpasar: Arti Foundation.
Kajeng, I Nyoman dkk. 1978. Sarasamuscaya dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno, Terjemahan dalam Bahasa Indonesia. PT Junasco.
Kebayantini, Ni Nyoman. 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
Pudja. 2003. Bhagawadgita. Surabaya: Paramita
Titib, I Made  dan Mardika. 2004. Buku Ajar Psikologi Agama. Jakarta: Bimas Hindu Budha Departemen Agama RI
Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama. Surabaya: Paramita.